Perspektif Seorang Hamba di atas Sajadah
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ. قَالَ اللهُ تَعَالى فِيْ الْقُرْآنِ
الْكَرِيْمِ إِنَّا أَنْزَلْنَهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ
الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ
وَالرُّوْحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ
الْفَجْرِ
Allah
SWT mengingatkan kita di dalam Q.S Al-Muzzammil ayat 7 bahwasanya kita sebagai
manusia sesungguhnya sangat sibuk dengan urusan kita di siang hari [verily,
there is for you by day prolonged occupation with ordinary duties]. Sehingga,
Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita di malam hari untuk mendekatkan
diri kepada-Nya. Allah SWT menegaskannya pada Q.S Al-Muzzammil ayat 6: ”verily,
the rising by night (for tahajjud prayer) is very hard and most potent and good
governing (the soul), and most suitable for (understanding) the word (of
Allah). Allah SWT juga memberikan cara terbaik untuk mendekatkan diri kita
kepada-Nya di malam hari, yaitu dengan cara melaksanakan sholat di waktu 2/3
malam dan membaca al-qur’an secara tartil (Q.S Al-Muzzammil ayat 2-4).
Alhamdulillah,
bulan ini merupakan kesempatan yang luar biasa untuk kita, sungguh rugi bagi
yang lalai. Merujuk kalender Hijriyah, bulan ini adalah bulan Ramadhan, bulan penuh pahala. Pada
bulan ini setiap amalan ibadah akan dilipatgandakan pahalanya oleh allah SWT.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda; “Setiap amalan kebaikan yang
dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang
akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan
karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau
minyak kasturi” (H.r. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151).
Saat terik
matahari, kita berpuasa dan disibukan dunia [Rabbana Atina Fid Dunya Hasanah]. saat
angin darat berhembus, kita terawaih dan baca al-qur’an. Di saat itulah,
filamen memancarkan cahaya, ujian terhadap seorang hamba. Tentu, seorang hamba
yang bertaqwa akan melepas dunia, karena ia memperoleh kesempatan ibadah di
malam Lailatul Qadar. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Saidi rahimahullah
menyatakan; “Amalan yang dilakukan di malam Lailatul Qadar lebih baik daripada
amalan yang dilakukan di seribu bulan yang tidak terdapat Lailatul Qadar”.
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Qadr: 3: “Malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan”. Maa syaa allah. Berdasarkan Q.S Al-Qadr: 3 dan pernyataan Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Saidi, siapa pun yang mengerjakan amal ibadah saat
malam Lailatul Qadar, maka akan memperoleh pahala yang jumlahnya sama dengan
ibadah seribu bulan. Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab beliau, Bulughul Marom,
memberitahukan kepada kita: Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam biasa beritikaf di sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan hingga beliau di wafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau
beritikaf setelah beliau wafat. (H.r. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).
Mengacu H.r.
Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172, salah satu upaya yang bisa dilakukan
untuk memaksimalkan amal ibadah di malam Lailatul Qadar adalah i’tikaf. I’tikaf
merupakan amalan ibadah sunnah yang dilaksanakan di masjid dengan cara
memisahkan diri dari hal-hal yang mengganggu konsentrasi dalam beribadah kepada
Allah SWT dan mendekatkan diri kepada-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir” (H.r.
Ibnu Hibban). Merujuk pernyataan Ibnu Umar R.a: “Rasulullah SAW selalu
beri’tikaf pada sepuluh hari penghabisan di bulan Ramadhan” (Muttafaq ‘Alaih).
Berdasarkan
hukumnya, i’tikaf termasuk amalan sunnah, namun amalan ini bisa menjadi wajib
apabila dinazarkan oleh seseorang. Hukum i’tikaf bisa menjadi haram ketika
dilakukan oleh seorang istri tanpa izin suaminya. Dengan demikian, apabila
seseorang melakukan i’tikaf untuk memperoleh perhatian orang lain dan
berpotensi mengundang fitnah, maka hukum i’tikaf menjadi makruh. Ketika
seseorang hendak melakukan i'tikaf, maka dia perlu memperhatikan; i) niat, ii)
proses berdiam diri (minimal selama tumakninah), iii) tempat berdiam diri
(masjid), dan iv) pelaku i'tikaf. Berkaitan dengan pelaku i'tikaf, terdapat
tiga syarat yang perlu diperhatikan. Ketiga syarat tersebut yaitu; i) islam,
ii) berakal sehat, dan iii) bebas dari hadas besar.
Semoga kita
termasuk hamba yang sholeh, hamba yang mendapat petunjuk, hamba yang mudah
melangkahkan kaki di masjid, hamba yang memperoleh syafaat, hamba yang
memperoleh ampunan Allah SWT, dan hamba yang mendapat mendapatkan rahmat Allah
SWT.
Author: Nur Rohman Eko Nugroho, A.Md.T., M.Pd.